KABAR DIGITAL, JAMBI — Suasana Aula Ratu Duo Hotel, Kota Jambi, Selasa (23/9), terasa berbeda. Ratusan petani, pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, hingga perusahaan perkebunan duduk bersama dalam satu ruangan. Mereka hadir bukan sekadar memperingati Hari Tani Nasional ke-65 tahun 2025, melainkan untuk mencari jawaban atas problem klasik yang terus menghantui: konflik agraria.
Momentum Hari Tani Nasional kali ini dijadikan titik tolak memperkuat komitmen bersama terhadap reforma agraria. Fokus diskusi diarahkan pada tema “Mewujudkan Reforma Agraria dalam Penertiban Kawasan Hutan”. Sekitar 100 peserta hadir dalam forum yang dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD), menjadikannya ajang penting untuk mengurai benang kusut pertanahan di Jambi.
Wadir Intelkam Polda Jambi, AKBP S. Bagus Santoso, S.I.K., M.H., yang membuka acara, menegaskan pentingnya ruang aspirasi bagi petani. “Hari ini kita membuka ruang seluas-luasnya bagi para petani untuk menyampaikan aspirasi, informasi, serta keluh kesah yang selama ini tersumbat. Aspirasi ini akan kami tampung dan sampaikan kepada pemerintah provinsi agar dapat menjadi bahan diskusi konstruktif serta menghasilkan solusi berkelanjutan,” ujarnya.
Diskusi semakin berbobot dengan hadirnya beragam narasumber. Dari jajaran pemerintah, tampil Kabid Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kehutanan Jambi, Bambang Yulisman. Dari unsur perusahaan, hadir GM PT Agrinas Palma Nusantara. Sementara dari sisi pertanahan dan penegakan hukum, tampil Brigjen TNI (Purn) Suwondo Penata Pertanahan Muda Kanwil BPN Jambi, Dewi Sartika, serta Penyidik Kejati Jambi, Fahrurozi.
Asisten II Setda Provinsi Jambi, Johansyah, memberikan arah kebijakan yang menyentuh akar persoalan. Ia menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar jargon, tetapi amanah konstitusi yang harus diwujudkan. Potensi pelepasan kawasan hutan (PKH) sebagai sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Jambi disebutnya mencapai jutaan hektare. “Reforma agraria harus sejalan dengan RPJMD 2025–2029. Pemerintah daerah berkomitmen menjaga keseimbangan antara pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Dari legislatif, Ketua Komisi II DPRD Jambi, Ir. H. M. Erpan, M.E., menyatakan dukungan penuh lembaganya. Ia menekankan pentingnya forum resmi rapat dengar pendapat sebagai tindak lanjut aspirasi petani. “Konflik agraria tidak bisa diselesaikan hanya di luar ruang sidang. DPRD siap menampung dan membahas aspirasi petani secara formal,” ucapnya.
Dari sisi teknis, Dewi Sartika dari BPN Jambi mengingatkan bahwa penataan aset dan akses harus berjalan beriringan. Ia menekankan percepatan implementasi Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang reforma agraria agar tidak berhenti pada tataran wacana. Sementara Fahrurozi dari Kejati Jambi menggarisbawahi aspek hukum. Menurutnya, penertiban kawasan hutan tidak boleh merampas hak rakyat, tetapi juga tidak boleh dibiarkan menjadi celah perampasan hak negara. “Semua harus berlandaskan hukum,” tegasnya.
Sesi diskusi menjadi titik paling hangat. Perwakilan petani dari berbagai kabupaten menyampaikan suara lantang terkait klaim lahan oleh perusahaan, pemasangan plang penertiban yang dianggap menekan masyarakat, hingga dugaan praktik tidak adil dalam pola kemitraan dengan perusahaan perkebunan. Mereka menuntut agar keadilan agraria tidak hanya jadi slogan, tetapi benar-benar diwujudkan dalam kebijakan nyata.
Menanggapi keluhan tersebut, perwakilan PT Agrinas Palma Nusantara menegaskan bahwa perusahaan bekerja atas mandat pemerintah pusat. Penertiban kawasan hutan, menurutnya, ditujukan untuk memberantas mafia tanah dan mengembalikan fungsi kawasan yang telah disalahgunakan. “Kami tidak bergerak sendiri, semua langkah berdasarkan regulasi dan arahan pemerintah,” ujarnya.
Di akhir forum, FGD menyepakati sejumlah poin penting. Pertama, perlunya transparansi dalam pengelolaan lahan agar tidak menimbulkan kesan tertutup yang memicu kecurigaan. Kedua, dibentuknya forum integrasi antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan sebagai wadah komunikasi berkesinambungan. Ketiga, tindak lanjut melalui pertemuan strategis dengan DPRD dan pemerintah daerah untuk merumuskan solusi konkret.
Hari Tani Nasional tahun ini di Jambi tidak hanya menjadi agenda seremonial. Ia berubah menjadi ruang perjumpaan gagasan, konflik, dan harapan. Para petani pulang membawa secercah optimisme bahwa suaranya mulai didengar, sementara pemerintah dan lembaga terkait diingatkan kembali bahwa reforma agraria adalah pekerjaan rumah besar yang tak bisa ditunda lagi.(*/rb)









