KABAR DIGITAL, LEBAK , Ketika kekuasaan di tangan pejabat desa berubah menjadi arogansi, hukum dan etika seolah tak lagi berarti. Itulah yang diduga terjadi di Desa Sindangratu, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Seorang kepala desa bernama Mpud Mahpudin diduga menghalangi kerja jurnalistik, mengusir wartawan dari kantor desa, dan bahkan menyita telepon genggam milik awak media.
Peristiwa memalukan ini terjadi pada 25 Agustus 2025, menimpa Bahrudin, wartawan Justic-Epost.com, yang datang ke kantor desa dalam rangka menjalankan tugas jurnalistik. Namun niat baik untuk meliput justru berujung pada intimidasi dan pelecehan profesi.
“Sebelum masuk, HP saya disita duluan sama perangkat desa bernama Didin, katanya diperintah langsung oleh kades. Saya gak bisa rekam waktu diusir, karena HP saya diambil di dalam. Ya, saya diusir oleh kadesnya,” ungkap Bahrudin dengan nada kesal.
Tindakan Kepala Desa Sindangratu jelas mengangkangi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi tameng hukum bagi kebebasan jurnalistik di Indonesia.
Pasal 4 Ayat (3): Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Pasal 8: Wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 18 Ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Tak berhenti di situ, penyitaan HP tanpa dasar hukum juga bisa dijerat dengan Pasal 335 dan 406 KUHP, karena termasuk dalam kategori pemaksaan dan perampasan barang milik orang lain secara melawan hukum.
Artinya, tindakan arogansi itu bukan hanya pelanggaran etik, tetapi sudah mengarah pada tindak pidana serius yang dapat menyeret oknum kades ke meja hukum.
“Kemarahan pun meletup di kalangan insan pers.
Raeynold Kurniawan, Pimpinan Redaksi Justic-Epost.com sekaligus Ketua Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI) DPC Pandeglang, mengecam keras tindakan kepala desa tersebut.
“Ini bukan sekadar pelecehan profesi, tapi pelanggaran terhadap undang-undang negara. Kami akan layangkan surat resmi ke DPMD Lebak dan minta oknum kades itu dipanggil. Kami pastikan akan tindak lanjuti sampai ke ranah hukum. Lo jual, kami borong!” tegas Raeynold.
Menurutnya, kejadian seperti ini menjadi tamparan keras bagi pemerintahan desa yang seharusnya menjunjung keterbukaan informasi publik, bukan malah bersikap seperti penguasa kebal hukum.
Insiden ini menimbulkan tanda tanya besar, baik dari warga maupun kalangan jurnalis.
“Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa wartawan diusir? Apa yang ditakutkan oleh kades?” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kurangnya transparansi dan tindakan represif terhadap media hanya menimbulkan kecurigaan baru terhadap kinerja pemerintahan desa. Publik kini menunggu langkah tegas dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Lebak, apakah berani bersikap atau justru diam seribu bahasa.
Wartawan bukan musuh pemerintah, melainkan mitra pengawal demokrasi.
Menghalangi tugas wartawan berarti menghalangi hak masyarakat untuk tahu (public right to know).
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Pers, wartawan berperan menyampaikan informasi, pendidikan, dan kontrol sosial untuk kepentingan publik.
Jika hukum benar-benar ditegakkan, maka tindakan Kepala Desa Sindangratu seharusnya tidak hanya dikecam, tapi juga diproses hukum sesuai aturan yang berlaku.
Kasus ini menjadi cermin buram wajah birokrasi di akar rumput.
Ketika seorang kades bisa dengan mudah mengusir wartawan dan menyita alat kerja jurnalistik, maka pertanyaannya sederhana
“Apakah hukum di negeri ini ma
sih berlaku sama bagi semua orang?.(Jaka S)